Rabu, 06 Mei 2009

REPOSISI ORGANISASI KELUARGA PELAJAR DAN MAHASISWA DAERAH SEBAGAI EKPRESI DAN ARTIKULASI PENGEMBANGAN POTENSI*

Oleh : Muhtadin
PADMANAGARA XX
Ketua umum KPM Galuh Rahayu Periode 2009-2010

“Jangan melakukan pengkhianatan intelektual (the treason of intelectual), karena itu akan menciptakan intelektual salon yang terkapar oleh kepentingan dunia, dan itu akan menjadi penyakit di tengah bangsa yang sakit” (Amien Rais)

Menjadi Mahasiswa adalah hal yang unik dan penuh dengan dinamika, kontroversi dan intelektual, ketika mahasiswa dituntut untuk melakukan dinamika, maka seorang mahasiswa tidak akan lepas dari tuntutan akademik, pada saat mahasiswa dituntut tetap menjaga idealisme sebagai seorang mahasiswa, justru mahasiswa berubah manjadi pragmatis, hedonis dan melakukan kontroversi, suatu ketika mahasiswa di bebani sebagai agent sosial of change, maka mahasiswa harus memainkan peran sebagai aktor intelektual yang dalam keseharian harus bergelut dengan buku, berwacana dengan isu yang berkembang dan berdiskusi, guna menyalurkan libido intelektual.
Tuntutan akan kualitas pendidikan dan intelektualitas yang mumpuni rupanya menimbulkan minat dari kalangan mahasiswa untuk melakukan ekspedisi pendidikan dalam suasana perantauan ke luar daerah. Dan pada gilirannya mahasiswa daerah tersebut membentuk ruang-ruang dalam bentuk organisasi mahasiswa daerah. Semua itu dilakukan untuk memenuhi tanggung jawab sosial dan menjawab kualitas pendidikan yang selama ini telah diragukan oleh masyarakat.
Berawal dari persoalan perantauan dalam ekspedisi pendidikan, kebiasaan umum dari para pencari ilmu adalah membentuk sebuah komunitas yang berfungsi sebagai dasar bergaining position ketika suatu saat nanti mahasiswa yang melakukan perantauan melakukan gerakan pulang kampung. Dan Mahasiswa yang melakukan perantauan dalam ekspedisi pendidikan akan melakukan gerakan pulang kampung, maka daripada itu perlu di bentuk sebuah wahana dan wadah peletakan bergaining position mahasiswa perantauan, yang di wujudkan dengan organisasi-organisasi mahasiswa daerah.
Ada dua pandangan saling bertentangan dalam menyikapi dinamika wadah bergaining position mahasiswa daerah atau yang lumrah disebut dengan organisasi Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Daerah yang kiranya patut menjadi bahan perenungan. Pertama menganggap Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Daerah tidak memiliki signifikansi yang cukup besar dalam proses intelektual mahasiswa, pada tingkatan paling ekstrim Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Daerah pada akhirnya dianggap akan membentuk chauvinisme yang berefek negatif terhadap rasa nasionalisme kita karena telah terbelah melalui keungggulan dan kelebihan daerah masing-masing. Kedua mengganggap bahwa Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Daerah memberikan efek positif terhadap persatuan dan kesatuan mahasiswa yang melakukan perantauan dalam menuntut ilmu, tidak sekedar wadah kongko-kongko sesama orang perantauan, tetapi lebih dari itu esensi yang hendak di capai adalah posisi tawar dalam dinamika kedaerahan – baik bargaining secara politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Secara konseptual bahwa organisasi mahasiswa daerah merupakan peluang yang sangat besar bagi pengembangan potensi kreatif mahasiswa. Karena dalam organisasi inilah mahasiswa daerah bisa mengekpresikan jati dirinya secara riil, mengaktualisasikan potensi kreatifnya serta memberikan legitimasi terhadap eksistensinya. sebagai organisasi mahasiswa daerah, merupakan pemasok dan pemasak kemampuan konseptual dan praktikal dalam perspektif sosial kemasyarakatan di daerah.
Dalam konteknya, secara umum tantangan organisasi mahasiswa daerah adalah, lemahanya etos mahasiswa daerah untuk mampu menempatkan organisasi mahasiswa daerah sebagai sarana berekpresi dan artikulasi pengembangan potensi. Sikap apriori yang berlebihan menjadikan mahasiswa memandang bahwa berorganisasi tidak lebih dari sekedar buang-buang waktu, energi dan tenaga. Lebih lebih ketika mahasiswa daerah kita sudah diwarnai oleh sikap pragmatis dalam memendang semua persoalan. Bahwa untung dan rugi yang dimaknai secara material, betul-betul akan mampu menutupi idealisme bagi masa depan dirinya.
Terakhir, saya berfikir setidaknya mahasiswa yang tergabung dalam organisasi daerah masih memiliki setitik harapan dan seberkas cahaya terang tanggungjawab sosial karena tanggung jawab sosial menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan dari dinamika kehidupan mahasiswa.
Akhirnya, marilah kita membuka paradigma berpikir yang kritis, kreatif, inovatif untuk memaksimalkan peran serta generasi muda dalam pembangunan daerah.

Disampaikan pada Silaturahmi awal Pengurus KPM "Galuh Rahayu" Ciamis-Yogyakarta Periode 2009-2010 oleh Padma XX

Sabtu, 24 Januari 2009

PROBLEMATIKA DAN REALITAS ORGANISASI MAHASISWA DAERAH

...Sesikit membaca sejarahnya bahwa Mahasiswa mendapat porsi istimewa dalam sistem rotasi bangsa ini...

Oleh : Muhtadin*
Fenomena organisasi daerah adalah realitas klasik bagi masyarakat intelektual (baca : mahasiswa) Indonesia, terutama yang menjalani masa studinya di luar daerah asalnya. Salah satu catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan, peran organisasi pemuda daerah, mutlak memainkan bagian penting dalam keseluruhan skenario perjuangan bangsa Indonesia. Masih terlalu melekat dalam ingatan bangsa Indonesia,28 Oktober 1928, kurang lebih 76 tahun yang lalu,betapa pernyataan bersama dari organisasi pemuda di seluruh penjuru tanah air seolah menjadi penyejuk di tengah gerahnya para pejuang akan penjajahan yang dialami, dan menjadi penyulut semangat perjuangan yang telah kelelahan. Dengan pernyataan bersama sebagai sebuah komitmen untuk berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu dalam ruang perjuangan itu memandu arah perjuangan yang tadinya terpecah, menjadi lebih terintegrasi dan strategis.
Dalam dinamika perkembangan bangsa, dimanapun, sulit untuk dihindari bahwa peran generasi muda sangat vital bagi konsistensi sebuah perjuangan. Dalam babak-babak perjuangan, baik merebut, mempertahankan atau membangun sebuah kemerdekaan, kontribusi dari generasi muda seakan menjadi satu-satunya tolok ukur dan indicator bagi keberhasilan perjuangan tersebut. Budi Utomo, Sumpah Pemuda adalah salah satu contoh wakil genre dan hasil dari upaya pemuda sebagai pendobrak perjuangan bangsa ini. Simak juga kekhawatiran seorang JFK terhadap kecenderungan yang mewabah di kalangan muda Amerika sebagai dampak pasca pemberlakuan wajib militer bagi perang-perang yang dilakukan Amerika. Al hasil, segala upaya yang dilakukan diarahkan dalam kerangka mereduksi dan bahkan menghilangkan trauma yang terjadi. Bahkan dalam beberapa kejadian baru dalam dinamika nasional, peran mahasiswa sebagai intelektual muda adalah salah satu pull factor bagi beberapa perubahan tatanan bangsa. Demikian pentingnya peran generasi muda, sehingga bukan hanya nasib sebuah bangsa yang menjadi taruhan, bukan tidak mungkin nasib peradaban sangat ditentukan oleh kelas ini
Belakangan, entah dikarenakan cepatnya dinamika bangsa Indonesia yang tengah menata kembali fondasi dan tatanan serta arah perjuangan yang sempat tercabik-cabik oleh ganasnya dinamika di luar, ditambah wacana tentang globalisasi, berbagai gagasan tentang peran sentral generasi muda seakan-akan terabaikan. Bahkan oleh kalangan generasi muda itu sendiri. Perubahan dalam berbagai aspek bangsa ini menimbulkan kegamangan yang luar biasa bagi generasimuda dalam menentukan sikapnya. Dalam mengahadapi realitas inilah, sangat penting bagi generasimuda untuk tetap konsisten melakukan re interpretasi dengan kualitas dan kecepatan yang sangat tinggi.
Isu-isu globalisasi, sebagaimana dimunculkan di awal, dengan berbagai indikator-indikatornya memiliki andil besar bagi perubahan-perubahan yang terjadi. Perkembangan teknologi yang berakibat pada cepatnya arus informasi yang kian memudahkan lalu lintas ide dan gagasan bahkan dalam skala global sekalipun. Tanpa adanya pemahaman yang utuh terhadap berbagai perubahan tersebut, nilai-nilai yang telah tumbuh dalam sebuah masyarakat dan telah menjadi fondasi berdirinya sebuah bangsa sebesar Indonesia akan tereduksi dan terlupakan. Bukan tidak mungkin, dengan berbagai potensi sosialkultural yang dimiliki Indonesia akan menjadi potensi konflik dan menyerang balik integrasi bangsa se-heterogen Indonesia.
Yang menjadi focus permasalahan adalah peran sentral generasi muda (baca : mahasiswa) sebagai penggerak utama dalam kaitannya dengan fenomena organisasi daerah. Fenomena organisasi daerah yang banyak dijumpai terutama di kota-kota yang menjadi pusat tujuan pendidikan, mutlak tidak akan ada tanpa keberadaan mahasiswa sebagai aktor utamanya. Hubungan yang telah menjadi keniscayaan tersebut belakangan agaknya merenggang. Terkait dengan berbagai dampak globalisasi yang mengantarkan manusia pada pemahaman yang lebih dari sekedar modern. Faham yang dikenal dengan istilah posmodernisme ini telah merambah ke berbagai aspek kehidupan manusia. Bahkan tanpa kita sadari sudah sedemikian dekat, sekedar contoh adalah pola konsumsi yang kita lakukan seringkali bukan dalam rangka menjawab kebutuhan yang masing-masing memiliki level pemenuhan sendiri, tapi lebih pada konsumerisme yang “membabi buta”. Contoh tersebut sekedar menunjukan betapa perilaku kita telah berubah dan seringkali perubahan tersebut bukan perubahan yang progresif realistis. Kita telah dengan mentah-mentah menelan apa yang ada tanpa ada upaya untuk membaca kembali secara utuh fenomena yang terjadi dalam dinamika kehidupan kita. Output dari kian maraknya fenomena seperti ini adalah generasi-generasi “pop”. Bukan pop dalam pengertian sebenarnya yang memiliki kriteria-kriteria sendiri, tapi lebih kepada “asal pop”.
Realitas sosial seperti kecenderungan “asal pop” menyeret generasi muda kita untuk lebih menerima apa yang menjadi trend, yang lebih mayor. Sementara berbagai faham dan realitas yang minor terlupakan begitu saja dengan berbagai ungkapan apatisme di sepanjang jalannya. Eksistensi organisasi daerah dan pandangan yang berkembang tentang eksistensinya tersebut pada akhirnya terimbas. Perspektif lain yang agak lebih baik adalah tetap mengakui eksistensi organisasi daerah, namun eksistensi tersebut dianggap sebagai sebuah end product yang tidak memerlukan analisa kritis lagi untuk tetap relevan dengan tuntuan perkembangan peradaban secara umum.
Dalam tahapan awal proses belajarnya, kebanyakan orang akan berangkat dari pertimbangan yang sangat pragmatis (like and dislike). Di lain pihak, kejiwaan generasi muda yang lebih sensitive terhadap sesuatu yang “baru”, berhadapan dengan permasalahan globalisasi dan berbagai konsekuensi logis, baik yang telah terpetakan maupun yang belum, pada akhirnya berdampak pada perspektif berpikir yang apologis dan cenderung apatis, apalagi terkait dengan organisasi daerah. Generasi muda yang semestinya menjadi pionir bagi eksistensi organisasi daerah, terjebak dalam kompleksitas permasalahan sebagaimana terurai di atas. Ditambah image yang seringkali dikaitkan antara organisasi daerah dengan “penguasa” berujung pada sebuah kesimpulan prematur bahwa organisasi daerah adalah kepanjangan tangan penguasa, keterjebakan yang dialami oleh generasi muda dan organisasi daerah sebagai entitas independen kian rumit untuk diurai.
Berikutnya apakah organisasi daerah masih cukup relevan dan efektif sebagaimana gagasan awal yang menjadikan organisasi, baik yang bersifat kedaerahan maupun di luar itu sebagai sebuah media bagi generasi muda untuk tetap berproses di luar proses formal yang harus mereka jalani. Apakah organisasi daerah masih dapat memfasilitasi semangat-semangat kolektif yang telah terbukti mampu mengentaskan bangsa ini dari permasalahan penjajahan?
Adalah sebuah kesalahan ketika permasalahan telah dimunculkan, dan bukannya berupaya untuk menjawab atau paling tidak menentukan sikap yang “benar”, sehingga kegamangan tidak lagi menjadi dominasi generasi muda. Bukan tidak mungkin posmodernisme yang menghasilkan dampak berupa kecenderungan individualisme ditambah dinamika nasional seperti fenomena otonomi daerah dan kegamangan yang mewabah pada generasi muda bukan tidak mungkin isu-isu separatisme akan menjadi permasalahan krusial bagi bangsa ini. LAGI!!
Dari sekian gambaran permasalahan yang harus dihadapi generasi muda, berikutnya organisasi daerah yang terimbas pada skala yang lebih besar lagi, bangsa ini, solusi yang ditawarkan di sini adalah sesuatu yang sederhana. Kotradiktif dengan gambaran permasalahannya, solusi tersebut adalah gagasan re-thinking yang dipadukan dengan kecepatan respon dalam membaca dan menyikapi dinamika kehidupan subjek dan objek kajian, yaitu generasi muda dan organisasi daerah. Namun solusi tersebut masih terlalu kualitatif untuk langsung diimplementasikan pada kondisi yang sebenarnya.
Masalah apatisme yang mewabah di kalangan muda, belum serumit permasalahan lain semacam dehumanisasi, dan demoralisasi, meskipun masalah tersebut saling terkait. Apatisme ini tumbuh subur dikarenakan beberapa sebab utama, terutama tingkat kejenuhan generasi muda mengenai fenomena objek (organisasi daerah) yang terkesan monoton, dan “itu-itu aja”. Bagi kebanyakan generasi muda, kecenderungan untuk mendapatkan wacana-wacana baru, akan lebih banyak dijumpai “di luar” kerangka organisasi daerah. Secara ekstrem, organisasi daerah dianggap tidak mampu memfasilitasi need of achievement yang melekat dalam perkembangan mental generasi muda. Berbagai perkembangan teknologi sebagaimana sebelumnya, kian memudahkan siapa saja untuk memperoleh wacana-wacana baru tersebut.
Kurang lebih dengan permasalahan generasi muda sebagai subjek permasalahan, fenomena organisasi daerah sebagai objek, meskipun independen, akan berhadapan dengan kompleksnya permasalahan generasi mudanya. Masalah organ daerah sangat tergantung pada pelaksananya. Bahkan lebih parah, telah dianggap sebagai sebuah kewajaran ketika tanggungjawab mengenai organisasi daerah adalah “otoritas” beberapa gelintir pihak tertentu saja. Saling terkaitnya permasalahan tersebut, sebenarnya memudahkan upaya mencari akar permasalahan dan menemukan solusi yang tepat bagi permasalahan tersebut. Tanpa adanya interest tentang organisasi daerah, persoalan tanggungjawab pelaksanaan organisasi daerah mustahil terselesaikan, dan tanpa adanya variasi gagasan yang hanya muncul jika interest untuk berkontribusi dalam organisasi daerah cukup tinggi, mustahil organisasi daerah dapat beranjaka dari permasalahan kurang marketable –nya gagasan dan program yang akan dikerjakan.
Selanjutnya, langkah yang diambil haruslah lebih strategis, bahkan sampai level teknis kegiatan sekalipun. Secara garis besar, profesionalisme pelaksanaan organisasi daerah ternyata belum cukup terbukti. Dalam pemahaman dan skala yang lebih luas, strategis berarti bahwa setiap langkah yang diambil tetap pada batsan-batasan untuk mewujudkan tujuan bersama. Tanpa adanya koreksi dalam penentuan tiap langkah yang akan ditempuh oleh sebuah organisasi dapat membawa organisasi daerah ke arah yang salah dan besar kemungkinan justru menjadi pemicu konflik disintegrasi yang rawan dan dekat dengan fenomena organisasi daerah. Beberapa pengalaman mencatat bahwa organisasi daerah telah bergeser dari koridor organisasi sosialkultural, tapi telah menjadi “alat” bagi kepentingan beberapa orang saja. Dengan argumen tanpa upaya tersebut, kepentingan organisasi daerah sendiri tidak terfasilitasi, berbagai kejadian tersebut terlegitimasi menjadi sebuah kewajaran.
Terlepas dari kompleksitas permasalahan organ daerah tersebut, agaknya masih relevan untuk berkaca pada kejadian 76 thn yang lalu. Tanpa bantuan dari pihak manapun, hanya bermodalkan kesadaran kritis dan tanggungjawab moral, para pemuda dapat menyusun sebuah akar bagi terwujudnya kemerdekaan.
Pertanyaan yang harus dijawab sekarang adalah dimana posisi kita sendiri di tengah kegamangan generasi muda pada umumnya dan kegamangan organisasi daerah dalam upayanya menemukan posisi yang tepat, bukan hanya sebagai wadah bagi apologi-apologi yang picik? Berasumsi dari kecenderungan yang cukup besar pada generasi muda sekarang untuk bersikap apologis dengan berbagai pembenaran retoris terkait dengan perubahan dan permasalahan yang muncul? Apakah kita masih menjadi penonton dan merelakan roda waktu menentukan arah perjalanan yang akan kita lalui? atau mungkin kita tidak lagi menonton, tapi apakah langkah kita cukup strategis dengan berbagai permasalahan di atas? Bukan jawaban bung! Hanya kerja yang bisa menjawabnya !!.
*Sekretaris Umum KPM Galuh Rahayu Ciamis-Yogyakarta 2007-2009, Aktivis HMI, Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND-PRM) Yogyakarta.